BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pulau-pulau di Indonesia hanya bisa tersambung melalui
laut-laut di antara pulau-pulaunya. Laut bukan pemisah,
tetapi pemersatu berbagai pulau, daerah dan kawasan Indonesia. Hanya
melalui perhubungan antar pulau , antar pantai, kesatuan Indonesia dapat
terwujud. Pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau, adalah urat nadi
kehidupan sekaligus pemersatu bangsa dan Negara Indonesia. Sejarah kebesaran
Sriwijaya atau Majapahit menjadi bukti nyata bahwa kejayaan suatu Negara di
nusantara hanya bisa dicapai melalui keunggulan Laut. Karenanya, pembangunan
industry pelayaran nasional sebagai sektor strategis, perlu diprioritaskan agar
dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Karena nyaris seluruh
komoditi untuk perdagangan internasional diangkut dengan menggunakan sarana dan
prasarana transportasi Laut, dan menyeimbangkan pembangunan kawasan (antara
kawasan timur Indonesia dan barat) demi kesatuan Indonesia, karena daerah
terpencil dan kurang berkembang (yang mayoritas berada dikawasan Indonesia
timur yang kaya sumber daya alam) membutuhkan akses ke pasar dan mendapat
layanan, yang seringkali hanya bisa dilakukan dengan transportasi Laut.
Pelayaran
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan diperaiaran, kepelabuhan,
serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis besar pelayaran dibagi menjadi
dua yaitu pelayaran niaga (yang terkait dengan kegiatan komersial) dan
pelayaran Non Niaga (yang terkait dengan kegiatan non komersil seperti pemerintahan
dan bela Negara).
Angkutan
diperairan (dalam makalah ini disepadankan dengan transportasi Laut) adalah
kegiata pengangkutan penumpang, dan atau barang, dan atau hewan, melalui suatu
wilayah perairan (laut, sungai, dan danau penyeberangan) dan teritori tertentu
(dalam negeri atau luar negeri), dengan menggunakan kapal, untuk layanan khusus
dan umum. Wilayah perairan terbagi menjadi :
1. Perairan laut :
wilayah perairan laut.
2. Perairan sungai dan
danau : wilayah perairan pedalaman, yaitu : sungai, danau, waduk, rawa, banjir,
kanal dan terusan.
3. Perairan penyeberangan
: wilayah perairan yang memutuskan jaringan jalan atau jalur kereta api.
Angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan penggerak, penghubung jalur.
Teoriti
Pelayaran terbagi menjadi :
1. Dalam negeri : untuk
angkutan domestik, dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di wilayah Indonesia.
2. Luar negeri : untuk
angkutan internasional (ekspor/import), dari pelabuhan Indonesia (yang terbuka
untuk perdagangan luar negeri ) ke pelabuhan luar negeri, dan sebaliknya.
Angkutan
Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia, dalam bentuk :
1. Angkutan Khusus, yang
diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan sendiri sebagai penunjang
usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum, di wilayah perairan laut, dan
sungan dan danau, oleh perusahaan yang memperoleh ijin operasi untuk hal
tersebut.
2. Angkutan Umum, yang
diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum, melalui : pelayaran rakyat,
oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha pelayaran,
dan memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis tradisional (kapal
layar, atau kapal layar motor tradisional atau kapal motor berukuran minimal
7GT), beroperasi di wilayah perairan laut, dan sungai dan danau di dalam
negeri.
Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus
untuk usaha pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera
Indonesia jenis non tradisional, beroperasi di semua jenis wilayah perairan
(laut, sungai dan danau, penyeberangan) dan teritori (dalam negeri dan luar
negeri). Pelayaran perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah di semua
wilayah perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dalam negeri untuk melayani
daerah terpencil (yang belum dilayani oleh jasa pelayaran yang beroperasi tetap
dan teratur atau yang moda transportasi lainnya belum memadai) atau daerah
belum berkembang (tingkat pendapatan sangat rendah), atau yang secara komersial
belum menguntungkan bagi angkutan laut.
Angkutan luar negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera
Indonesia dan asing, oleh : perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal
satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 175GT; perusahaan pelayaran
patungan, antara perusahaan asing dengan perusahaan nasional yang memiliki
minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT; dan perusahaan
pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional dengan kepemilikan
minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT untuk pelayaran
internasional atau minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 175GT
untuk pelayaran lintas batas.
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki
lebih dari 1800 pulau. Pulau-pulau itu dipisahkan oleh laut dan selat, sehingga
untuk menghubungkan antara pulau satu dengan yang lainnya dibutuhkan sarana
tranportasi yang memadai.
Kapal
laut merupakan sarana yang penting di dalam aktifitas hubungan antara
masyarakat dari pulau yang satu dengan pulau yang lainnya, hal ini juga
menyebabkan bahwa bangsa indonesia mendapat julukan sebagai bangsa pelaut,
karena mereka telah terbiasa mengarungi lautan di wilayah Nusantara.
Bukti-bukti
yang menunjukan bahwa bangsa Indonesia telah memanfaatkan kapal-kapal sebagai
sarana penting dalam transportasi laut, seperti yang tergambar pada
relief-relief Candi Borobudur dalam bentuk perahu bercadik yang telah mampu
berlayar sampai ke Pulau madagaskar (Afrika). Juga pembuatan perahu
Pinisi yang dilakuan oleh bangsa Makassar di Sulawesi Selatan.
Teknologi
pembuatan kapal di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat
setelah mendapat pengaruh asing. Dari para pelaut asing itulah bangsa Indonesia
memperoleh tambahan pengetahuan teknologi navigasi dan pelayaran, sehingga
akhirnya Indonesia memiliki Idustri kapal yang modern.
|
Relief
Perahu Bercadik Di Candi Borobudur
|
Industri
perkapalan berawal dari sebuah bengkel tempat mereparasi kapal. Kemudian
bengkel itu berkembang menjadi industri yang merancang dan membangun kapal
sebagai sarana transportasi laut, dan dioperasikan oleh PT. Pelayaran laut
Nasional Indonesia (PT. PELNI). Industri kapal Indonesia dimotori oleh PT. PAL
Indonesia. Perusahaan ini merupakan sebuah BUMN. Pendiri perusahaan kapal ini
telah dirintis sejak tahun 1823, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Ide pendirian bengkel reparasi kapal laut ini dimunculkan oleh Gubernur General
Hindia belanda V.D. Capellen. Nama perusahan itu adalah NV. Nederlandsch
Indische Industrie.
Pada
tahun 1849, sarana perbaikan dan pemeliharaan kapal mulai terwujud di daerah
Ujung, surabaya. namun pada tahun 193 pemerintah Hindia Belanda mengganti nama
menjadi Marine Establishment (ME). ME berfungsi sebagai sebuah pabrik
pemeliharaan dan perbaikan kapal. Pada masa pendudukan jepang, ME tidak berubah
fungsi dan tetap menjadi bengkel reparasi dan perbaikan kapal-kapal angkatan
laut tentara Jepang dibawah pengawasan Kaigun. Tetapi pada masa perang
kemerdekaan, ME kembali dikuasai Belanda dan baru diserahkan pada Indonesia
pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak saat itu nama perusahaan kapal laut
tersebut diubah menjadi Penataran Angkatan Laut (PAL).
Pada
athun 1978, status PT. PAL diubah menjadi perusahaan umum (Perum) PAL. 3 tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1981 bentuk badan usaha Perum PAL diubah menjadi
perseroan dengan pimpinan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie (saat itu menjabat
sebagai menristek). PT. PAL memproduksi berbagai jenis kapal, mulai dari kapal
ikan, kapal niaga, kapal perang, tugboat, tanker, kapal penumpang dan kapal
riset. Kapal riset buatan PT. PAL adalah kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI.
Sementara
itu upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang trasportasi laut
antara lain merehabilitasi dan meningkatkan kapasitas infrastruktur yang ada,
seperti pengadaan kapal Feri dan kapal pengangkut barang, perbaikan
pelabuhan-pelabuhan laut, terminal peti kemas dan dermaga-dermaga. hal itu
bertujuan untuk lebih memperlancar lalu lintas antar pulau, meningkatkan
perdagangan domestik dan internasional Indonesia.
Perkembangan
trasportasi laut pada dewasa ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi
tersebut telah membuat bangsa Indonesia dapat memproduksi kapal angkut
penumpang yaitu Palindo jaya 500. kapal tersebut diluncurkan pertama kali pada
bulan Agustus 1995. Kapal tersebut dibuat untuk menunjang sarana trasportasi
laut yang lebih cepat dan aman. Dengan demikian, kegiatan trasportasi laut akan
berdampak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
BAB II
TRANSPORTASI LAUT DI INDONESIA
1.
Usaha Angkutan Jasa Transportasi
Laut
Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha
menunjang, yaitu kegiatan usaha yang menunjang kelancaran proses kegiatan
angkutan, seperti di uraikan di bawah ini:
1. Usaha bongkar muat
barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan barang dan atau hewan
dari dan ke kapal.
2. Usaha jasa pengurusan
transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha untuk pengiriman dan
penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat, laut, dan udara.
3. Usaha ekspedisi muatan
kapal laut, yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen dan pekerjaan yang
berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang diangkut melalui laut.
4. Usaha angkutan di
perairan pelabuhan, yaitu kegiatan usaha pemindahan penumpang dan atau barang
atau hewan dari dermaga ke kapal atau sebaliknya dan dari kapal ke kapal, di
perairan pelabuhan.
5. Usaha penyewaan
peralatan angkutan laut atau alat apung, yaitu kegiatan usaha menyediakan dan
penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau alat apung untuk pelayanan
kapal.
6. Usaha tally,
yaitu kegiatan usaha perhitungan, pengukuran, penimbangan, dan pencatatan
muatan kepentingan pemilik muatan atau pengangkut.
7. Usaha depo peti kemas,
yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan, pembersihan, perbaikan, dan
kegiatan lain yang terkait dengan pengurusan peti kemas.
2.
Kronologi
Ringkas Kebijakan Transportasi Laut Indonesia
Pada
tahun 1985 diterbitkan Instruksi Presiden nomor 4 yang bertujuan meningkatkan
ekspor nonmigas menekan biaya pelayaran dan pelabuhan. Pelabuhan yang melayani
perdagangan luar negeri ditingkatkan jumlahnya secara drastis, dari hanya 4
menjadi 127. Untuk pertamakalinya pengusaha pelayaran Indonesia harus
berhadapan dengan pesaing seperti feeder operator yang mampu
menyewakan biaya lebih rendah. Liberasi berlanjut pada tahun 1988 ketika
pemerintah melongarkan proteksi pasar domestic. Sejak itu, pendirian perusahaan
pelayaran tidak lagi disyaratkan memiliki kapal berbendera Indonesia. Jenis
ijin pelayaran dipangkas, dari lima hanya menjadi dua. Perusahaan pelayaran
memiliki fleksibilitas lebih besar dalam rute pelayaran dan penggunaan kapal
(bahka penggunaan kapal berbendera asing untuk pelayaran domestic).
Secara de facto , prinsip cabotage tidak lagi
diberlakukan.
Pada
tahun ini pula diberlakukan keharusan men-scrap kapal tua dan pengadaan kapal
dari galangan dalam negeri. Undang-undang pelayaran nomor 21 tahun 1992,
semakin memperkuat pelonggaran perlindungan tersebut. Berdasarkan UU 21/92
perusahaan asing dapat melakukan usaha patungan dengan perusahaan pelayaran
nasional untuk pelayaran domestic. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun
1999, pemerintah berupaya mengubah kebijakan yang terlalu longgar, dengan
menetapkan kebijakan sebagai berikut:
1. Perusahanaan pelayaran
nasional Indonesia harus memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia,
berukuran 175 GT.
2. Kapal berbendera asing
diperbolehkan beroperasi pada pelayaran domestic hanya dalam jangka waktu
terbatas (3 bulan).
3. Agen perusahaan
pelayaran asing kapal harus memiliki satu kapal berbendera Indonesia, berukuran
5,000 GT.
4. Di dalam perusahaan
patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal satu kapal berbendera
Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat deregulasi 1988 yang
2,500). Pengusaha agen kapal asing memprotes keras, sehingga pemberlakuan
ketentuan ini diundur hingga Oktober 2003.
5. Jaringan pelayaran
domestic dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main route), pengumpan
(feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi pelayaran
dibagi menurut jenis trayek tersebut dan jenis muatan (penumpang, kargo umum,
dan kontener).
Rangkaian
regulasi dan deregulasi tersebut di atas menjadi salah satu faktor terhadap
kondisi dan masalah yang dihadapi sector transportasi Laut Indonesia, dari
waktu ke waktu.
3.
Profil
Armada Transportasi Laut Di Indonesia
Dari
sisi besaran DWT, kapasitas kapal konvesional dan tanker mendominasi armada
pelayaran yang uzur (umur rata-rata kapal di Indonesia 21 tahun, 2001,
dibandingkan dengan Malaysia yang 16 tahun, 2000, atau singapura yang 11 tahun,
2000). Meskipun demikian, justru pada kapasitas muatan dry-bulk dan liquid
bulk pangsa pasar domestic armada nasional paling kecil.
Pada umunya, kapal Indonesia mengankut kargo umum, tapi sekitar setengah muatan
dry-bulk dan liquid-bulk diangkut oleh kapal asing atau kapal sewa berbendera
asing. Secara keseluruhan armada nasional meraup 50% pangsa pasar domestic.
Sekitar 80% liquid-bulk berasal dari PT Pertamina. Penumpang angkutan laut
bukan feri terutama dilayani oleh PT Pelni yang mengoperasikan 29 kapal (dalam
lima tahun terakhir, PT Pelni menambah 10 kapal). Perusahaan swasta juga
membesarkan armada dari 430 (1997) menjadi 521 unit (2001).
Armada
Pelayaran Rakyat, yang terdiri dari kapal kayu (misalnya jenis Pinisi, seperti
yang banyak berlabuh dipelabuhan Sunda Kelapa) membentuk mekanisme industry
transportasi laut yang unik. Kapal-kapal yang berukuran relatif kecil (tapi
sangat banyak) melayani pasar yang tidak diakses oleh kapal berukuran besar,
baik karena alasa financial (kurang menguntungkan) atau fisik (pelabuhan
dangkal). Industri Pelayaran Rakyat berperan sangat penting dalam distribusi
barang dan dari pelosok Indonesia. Armada pelayaan rakyat mengangkut 1.6 juta
penumpang(sekitar 8% penumpang bukan feri) dan 7.3 juta Metric Ton barang
(sekitar 16% kargo umum). Tapi kekuatan armada ini cenderung melemah, terlihat dari
kapasitas 397,000 GRT pada tahun 1997 menjadi 306,000 GRT pada tahun 2001.
(sumber data: Stramindo, berdasarkan statistic DitJen HubLa).
4.
Manajemen
Transportasi Laut
DALAM UU.NO.17 Th.2008, Ttg
PELAYARAN :
1.
PELAYARAN
ADALAH SATU KESATUAN SISTEM YANG TERDIRI ATAS ANGKUTAN DI PERAIRAN,
KEPELABUHANAN, KESELAMATAN DAN KEAMANAN, SERTAPERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM
2.
ANGKUTAN
DI PERAIRAN ADALAH KEGIATAN MENGANGKUT DAN/ATAU MEMINDAHKAN PENUMPANG
DAN/ATAU BARANG DENGAN MENGGUNAKAN KAPAL KEPELABUHANAN ADALAH SEGALA
SESUATU YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN FUNGSI PELABUHAN UNTUK MENUNJANG
KELANCARAN, KEAMANAN,DAN KETERTIBAN ARUS LALU LINTAS KAPAL DAN/ATAU
BARANG, KESELAMATAN DAN KEAMANAN BERLAYAR, TEMPAT PERPINDAHAN INTRA
DANATAU ANTARMODA SERTA MENDORONG PEREKONOMIAN NASIONAL DAN DAERAH DENGAN
TETAP MEMPERHATIKAN TATA RUANG WILAYAH
3.
KESELAMATAN
DAN KEAMANAN PELAYARAN ADALAH SUATU KEADAAN TERPENUHINYA PERSYARATAN
KESELAMATAN DAN KEAMANAN YANG MENYANGKUT ANGKUTAN PERAIRAN, KEPELABUHANAN
DAN LINGKUNGAN MARITIM
WAYS
1.
DITATA
SECARA TERPADU INTRA DAN MODA TRANSPORTASIMENDORONG DAN MENUNJANG SEKTOR
PEMBANGUNAN
2.
DITATA
DALAM JARINGAN PELAYANAN UTAMA, DAN PENGUMPANAN.
3.
DITETAPKAN
PERSYARATAN PEMBANGUNAN, PENGOPRASIAN DAN
4.
PEMELIHARAAN
UNTUK MENJAMIN KESELAMATAN.
5.
DELENGKAPI
DENGAN SARANA UNTUK KEAMANAN, KETERTIBAN DAN
6.
KELANCARAN
DALAM BERLALULINTAS
7.
DITETAPKAN
PENANGGUNG JAWAB PEMBINAAN, PEMBANGUNAN,
8.
PENGOPRASIAN
SERTA PEMELIHARAAN.
9.
IATUR
TARIF UNTUK SETIAP PENGGUNAANNYA.
10.
DIATUR
SANKSI PIDANA UNTUK SETIAP PELANGGARAN/TINDAK PIDANA
VEHICLES
·
DI
TETAPKAN PERSAYARATAN TEKNIS UNTUK KELAIKANNYA.
·
DIATUR
KETENTUAN PENGUJIAN GUAN PEMENUHAN PERSYARATAN LAIK OPERASI.
·
DIATUR
KEWAJIBAN UNTUK MENDAFTARKAN/MEMPEROLEH
TANDA KEBANGSAAN.
·
DITETAPKAN
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG/KEBISINGAN DALAM RANGKA
·
PELESTARIAN
LINGKUNGAN.
·
DITETAPKAN
PERSYARATAN KESELAMATAN SELAMA PENGOPRASIAN.
·
DITETAPKAN
TATA CARA PENGOPRASIAN SERTA PEMELIHARAAN.
·
DILAKUKAN
PENGUJIAN SECARA BERKALA UNTUK TETAP MENJAMIN KELAIKAN.
·
DIATUR
PERIZINAN, PENGUSAHAAN DAN TARIF ANGKUTAN ORANG DAN
BARANG, SERTA TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DAN ASURANSI
·
DILAKUKAN
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN OLEH PEJABAT YANG BERWENANG.
·
DITETAPKAN
LARANGAN DAN SANKSI PIDANA.
5.
Masalah
Transportasi Laut Di Indonesia
Dalam
periode 5 tahun (1996-2000) jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia meningkat,
dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah perusahaan (peningkatan rata-rata
10.5% p.a). Sementara kekuatan armada pelayaran nasional membesar, dari 6,156
menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-rata 11.3% p.a). Tapi dari segi kapasitas
daya angkut hanya naik sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT.
Berarti kapasitas rata-rata perusahaan pelayaran nasional menurun. Sepanjang
periode tersebut, volume perdagangan laut tumbuh 3% p.a. Volume angkutan naik
dari 379,776,945 ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000), atau meningkat
sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu
dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera
Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestic (antar pelabuhan Inonesia). Pada
tahun 2000, jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas
5,122,307 DWT meraup muatan domestic sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.
Walhasil,
saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran
nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena
kelemahan di semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal.
Di bidang muatan internasional (ekspor/import) pangsa perusahaan pelayaran
nasional hanya sekitar 3% to 5%, dengan kecenderungan menurun. Proporsi ini
sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada
pelayaran nasional.
Data
tahun 2002 menunjukan bahwa pelayaran armada nasional Indonesia semakin
terpuruk dipasar muatan domestic. Penguasaan pangsanya menciut 19% menjadi
hanya 50% (2000:69%). Sementara untuk muatan internasional tetap dikisaran 5%.
Dari sisi financial, Indonesia kehilangan kesempatan meraih devisa sebesar
US$10.4 Milyar, hanya dari transportasi laut untuk muatan ekspor/ import saja.
Alih-alih memperoleh manfaat dari penerapan prinsip cabotage (yang
tidak ketat) industri pelayaran Indonesia malah sangat bergantung pada kapal
sewa asing. Armada nasional pelayaran Indonesia menghadapi banyak masalah,
seperti : banyak kapal, terutama jenis konvensional, menganggur Karena waktu
tunggu kargo yang berkepanjangan; terjadi kelebihan kapasitas, yang
kadang-kadang memicu perang harga yang tidak sehat; terdapat cukup banyak
kapal, tetapi hanya sedikit yang mampu memberikan pelayanan memuaskan; tingkat
produktivitas armada dry cargo sangat rendah, hanya 7,649 ton-miles/ DWT
atau sekitar 39.7% dibandingkan armada sejenis di Jepang yang 19,230 ton-miles
/ DWT.
Situasi
pelayaran sangat pelik, karena ketergantungan pada kapal sewa asing terjadi
bersamaan dengan kelebihan kapasitas armada domestic. Situasi bagai lingkaran
tak berujung itu disebabkan lingkungan investasi
perkapalan yang tidak kondusif. Banyak perusahaan pelayaran
ingin meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman di pasar uang
domestic. Dan disisi lain lebih mudah memperoleh pinjaman dari sumber-sumber
luar negeri. Beberapa perusahaan besar cenderung mendaftarkan kapalnya di luar negeri
(flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah tidak mampu melakukannya,
sehingga tak ada alternative kecuali menggunakan kapal berharga murah, tapi tua
dan scrappy. Akibatnya terjadi ketergantungan yang semakin besar pada kapal
sewa asing dan pemrosotan produktivitas armada.
6.
Masalah
Investasi Transportasi Laut
Di
Indonesia terdapat dua kelompok besar penyelenggara transportasi Laut, yaitu
oleh pemerintah (termasuk BUMN) dan swasta. Masing-masing kelompok terbagi dua.
Di pihak pemerintah terbagi menjadi BUMN pelayaran yang menyelenggarakan
transportasi umum dan BUMN non pelayaran yang hanya menyelenggarakan pelayaran
khusus untuk melayani kepentingan sendiri. Pihak swasta terbagi menjadi
perusahaan besar dan perusahaan kecil (termasuk pelayaran rakyat). Ragam
mekanisme penyaluran dana investasi pengadaan kapal ternyata sejalan dengan
pembagian tersebut. Masing-masing pihak di tiap-tiap kelompok memiliki
mekanisme pembiayaan tersendiri.
7.
Hambatan
dalam Pendanaan Kapal
Dunia pelayaran Indonesia menghadapi
banyak hambatan structural dan sistematis di bidang financial, seperti di
paparka di bawah ini:
1. Keterbatasan lingkup
dan skala sumber dana : Official Development Assistance(ODA),
terkonsentrasi untuk investasi public di berbagai sector pembangunan, kecuali
pelayaran. Other Official Finance (OOF), kredit ekspor dari
Jepang sedang terjadwal ulang. Foreign Direct Investment (FDI),
sejauh ini tidak ada anggaran pemerintah hanya dialokasikan untuk pengadaan
kapal pelayaran perintis. Pinjaman Bank asing tersedia hanya untuk perusahaan
pelayaran besar (credit worthby) pinjaman Bank swasta nasional hanya disediakan
dalam jumlah sangat kecil.
2. Tingkat suku
bunga pinjaman domestic 15-17% p.a untuk jangka waktu pinjaman 5
tahun.
3. Jangka waktu pinjaman
yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri pelayaran.
4. Saat ini kapal yang
dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.
5. Tidak ada program
kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat, kecuali pinjaman jangka
pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional.
6. Tidak ada kebijakan
pendukung.
7. Prosedur peminjaman
(appraisal, penyaluran, angsuran) kurang ringkas.
8. Masa Depan
Transportasi Laut
Stramindo
memprediksi bahwa dalam 20 tahun ke depan (2004-2024), volume dry
cargo akan berlipat 2.8 kali, volume liquid cargo berlipat 1.4 kali, dan secara
keseluruhan volume angkutan domesik akan berlipat 2 kali. Jenis muatan yang
paling pesat pertumbuhannya adalah kargo container. Volumenya akan berlipat 5.2
kali, dari 11 juta ton (2004)menjadi 59 juta ton (2024). Pertumbuhan dry cargo
sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi , dan tidak tergantung pada
ketersediaan sumber daya alam. Tingkat produksi minyak saat ini akan terhenti
pada tahun 2006, seperti yang akan diperkirakan pemerintah. Di masa 20 tahun
kedepan, volume angkutan minyak akan menurun, sekalipun konsumsi bertambah.
Struktur logistic minyak akan berubah, sebagian volume domestic minyak mentah
akan diganti dengan impor minyak.
Sebagai
akibatnya pertumbuhan volume angkutan liquid kargo (yang didominasi minyak)
tidak sepesat dry cargo. Pertumbuhan volume penumpang (transportasi Laut maupun
udara) akan sejalan dengan pertumbuhan GDP. Tapi GDP yang semakin tinggi hanya
berpengaruh positif pada transportasi udara, dan berpengaruh negative pada
transportasi laut. Karena itu diprediksi proporsi laut-udara akan berubah 60-40
(2001) menjadi 51-49 (2024) dengan tingkat pertumbuhan rendah 1.5 kali lipat.
Proyeksi pertumbuhan volume muatan barang dan penumpang domestic yang
menggunakan transportasi Laut.
BAB III
KESIMPULAN
1.
UMUM
Industri
pelayaran, bahkan transportasi Laut yang merupakan salah satu bagiannya
memiliki banyak aspek yang saling terkait. Karena itu, upaya peningkatan daya
saing pada aspek yang relevan perlu dilakukan secara simultan. Aspek relevan
tersebut meliputi : Pembenahan administrasi dan manajemen pemerintahan di laut,
termasuk keselamatan dan keamanan Laut serta perlindungan laut.
2.
Finansial
Industri
transportasi laut menghadapai situasi pelik, yaitu timbulnya masalah
ketergantungan pada kapal sewa asing dan kelebihan kapasitas armada secara
bersamaan. Pangkal pelik situasi tersebut berasala dari lingkungan investasi perkapalan
yang tidak kondusif. Perusahaan pelayaran yang ingin meremajakan armadanya ,
sulit memperoleh dukungan dana. Jika dibiarkan, kepelikan tersebut akan seperti
spiral yang menyeret perusahaan pelayaran kearah keterpurukan yang semakin
dalam.
Hanya
ada satu persyaratan yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran nasional dapat
keluar dari keterpurukan tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif.
Kondusivitas tersebut diperlukan untuk memberdayakan perusahaan pelayaran,
sehingga perusahaan pelayaran tersebut memiliki beberapa karakteristik
kemampuan dalam hal: mengakses sumber dana keuangan untuk pengadaan kapal yang
dibutuhkan menikmati laba bisnis yang stabil menghindari kemrosotan asset kapal
dalam jangka menengah dan panjang melakukan reinvestasi pada armada yang lebih
berdaya saing.